BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang PENDAHULUAN
Islam didenfisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan Nabi kita Rasulullah SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqabat atau sanksi), dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, untuk itu kami sebagai penulis mengangkat sebuah permasalahan tentang suatu hukum dalam Agama Islam..
Orang-orang dalam menjalani hidupnya haruslah dinilai sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah, bukan hanya melihat dari segi status sosial ataupun material saja. Ukuran dalam menjalani hidup sama saja dihadapan Allah SWT yang membedakan hanya kadar ketakwaan kita, bukan berdasarkan dari status sosial atau materil dalam pandangan manusia saja.
Disamping itu, kalau seorang muslim dalam menjalani kehidupannya bisa dan tidak mudah terpengaruh akan segala ritangan yang selalu menghadang dalam setiap langkah hidupnya dan mempunyai filter dalam menyaring segala permasalah yang terjadi dalam konteks hukum Islam.
Permasalahan dalam menetapkan Hukum Islam adalah Sebuah permasalahan yang sering muncul dan perlu adanya sebuah penyelasaian yang mana penyelesaian masalah tersebut tidaklah keluar dari sebuah ketetapan hukum Allah SWT yang sudah tercantum dalam Firmannya yakni Al-qur’an dan Sunnahnya Rasulullah SAW.
Manusia dizaman modern ini diharapkan pada masalah ketetapan Hukum Islam cukup serius. Maka oleh sebab itu khazanah fikiran dan pandangan dalam menyikapi mesti adanya suatu pengembangan pola fikir yang lebih baik.
Dengan demikian, menjadi sangatlah penting kita mempelajari hal-hal yang berkenaan suatu permasalahan yang banyak dialami sekarang ini. Namun penjabaran dalam mempelajari sebuah ketetapan Hukum seseorang tidaklah mudah, oleh sebab itu dituntut untuk tidak berjalan begitu saja dan tidak akan sempurna dalam proses mengetaui ketetapan hukum tersebut.
B. Tujuan
Didalam penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk menambah wawasan dalam pengetahuan mengenai materi Ushul Fiqh yang mana didalamnya membahas mengenai sebuah ketetapan hokum salah satunya membahas mengenai Ketetapan Dzari’ah dan juga untuk memenuhi tugas salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqh.
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas maka penulis mengajukan beberapa masalah berupa :
1. Apa-apa saja yang menyebabkan timbulnya sebuah ketetapan Dzari’ah?
2. Untuk Apakah ketetapan hukum tersebut digunakan?
Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarnya Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Dari segi etimologi,, dzari’ah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dzari’ah menurut istilah ahli hukum islam, ialah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan dan dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya. Jelasnya, perbuatan yang membawa kearah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa kearah haram adalah haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas pelaksananya perbuatan wajib adalah wajib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, terlihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan di sini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi atas dua bagian :
1. Maqasid (tujuan atau sasaran) yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau masafdat.
2. Wasail atau perantara yaitu adalah jalan atau perantara yang membawa kepada maqasid, di mana hukumnya mengikuti hukum perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik yang berupa halal atau yang haram.
Dengan demikian, yang menjadi dasar dieterimanya dzara’i (atau jamka dari dzari’ah) sebagai sumber pokok hukum islam ialah tinjauan terhadap akibat suatu perbuatan. Apabila perbuatan itu mengarah kepada sesuatu yang diperintahkan (mathlub), maka ia menjadi mathlub (diperintahkan). Sebaliknya jikalau perbuatan itu mengarah kepada perbuatan buruk maka ia menjadi terlarang.
hadits-hadits Nabi yang menerangkan tentang dzari’ah cukup banyak, antara lain:
a. Nabi Muhammad SAW melarang orang yang mengutangi, menerima hadiah dari orang yang berhutang agar hal tersebut tidak mengarah kepada perbuatan riba di mana penerimaan hadiah itu dianggap sebagai ganti dari bunga.
b. Nabi muhamad SAW melarang perbuatan menimbun harta.
Beliau bersabda:
“Tidak perbuat menimbun harta kecuali orang yang berbuat salah.”
Sebab penimbunan harta merupakan dzari’ah yang menyebabkan terjadinya kesulitan atau krisis perekonomian masyarakat, selain perbuatan menimbun harta itu sendiri memang haram hukumnya. Oleh karena itu, mengimport barabng kebutuhan pkok adalah wajib pada masa paceklik, karena hal ini merupakan kesulitan dzari’ah yang dapat melepaskan masyarakat dari kesulitan perekonomian.
Nabi bersabda :
“Seorang importer akan mendapatkan kelapangan rizki”
Nabi Muhammad SAW melarang seorang membeli barang yang telah disedekahkan kepada orang lain, walaupun ia mendapatkannya terjual di pasar, demi menghindari dari dzari’ah berupa di tariknya kembali barang yang telah dike;uarkan untuk orang lain karena allah, meskipun dengan iwadl (pengganti). Kadangkala hal itu merupakan dzari’ah untuk memperdaya kaum fakir miskin dengan jalan menyerahkan sedekah hartanya,lalu menarik kembali melalui cara pembelian dengan penipuan yang keji, malahan kadang-kadang hal itu dijadikan persyaratan untuk pemberian sedekah tersebut.
Demikianlah kita dapat banyak hadist/atsar yang menopang dipakainya dzariah sebagai satu sumber pokok (ashl) untuk istinbhat hokum, dimana assalnya adalah melihat kepada akibat dari suatu perbuatan.
Sebagai catatan, bahwa kebanyakan contoh-contoh dzari’ah bersifat menghindarkan kerusakan (daf ulmafsadah). Padahal sebenarnya dzari;ah dipakai juga untuk menarik kemanfaatan (jalbulmanafi). Oleh karena itu Imam Alkarofi berkata : “ ketahuilah bahwa dzari;ah sebagaimana halnya ditutup atau ditolak kehadirannya, juga wajib dibuka atau diterima kehadirannya. Ia bisa bersetatus makruh,atau mubah. Sebab dzari’ah pada dasarnya adalah wasilah atau perantaraan. Sebagaimana halnya wasilah perbuatan yang wajib adalah wajib seperti berjalan menuju ke mesjid untuk menunaikan shalat jum’at. Diantara contoh-contoh yang telah kami sebutkan dimuka, ada yang membuka pintu dzari’ah atau (fathu adz-dzari’ah) kepada perbuatan yang diperintahkan (mathlub), yakni tentang import barang-barang sebagaimana disyaratkan oleh hadist diatas
2. Sadd Adz-Dzari’ah
Pengertian sadd Adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah:
“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).”
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
Perbuatan yang jika dikerjakan, kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadah, akan tetapi tidak sampai ketingkat keyakinan yang pasti. Hal ini biasanya terjadi dlam bentuk jual beli yang biasa dijadikan dzari’ah untuk melakukan perbuatan riba. Contohnya seperti aqad salm yang dimaksud oleh orang yang melakukan transaksi untuk memperoleh riba dengan berkedok transaksi jual beli. Misalnya, ia menyerahkan tsaman (harga)-pada waktu berlangsung transaksi-dibawah harga barang yang sesungguhnya (porsekot) dengan tujuan agar memperoleh riba. Kemungkinan terjadinya kerusakan dalam kasus itu relatif besar, meskipun tidak sampai pada tingkatan persangkaan kuat atau yakin.
Bagian ini termasuk masalah yang dipersilihsikan para ulama; apakah dianggap sebgai dzari’ah yang berakibat kerusakan sehingga tasaruf itu batal, dan perbuatan itu haram karena mengutamakan segi kemafsadatanya; atau tidak dianggap sebagai dzari’ah sehingga akad tersebut tidak batal, dan perbuatan itu tidak haram, karena berpegang pada hukum asal, yaitu izin terhadap perbuatan tersebut. Imam abu hanifah dan imam syafi’I mungunggulkan segi izin, tidak mengharamkan perbuatan itu, dan tidak membatalkan tasarrufbnya. Alasanya, karena kerusakannya bukan yang dominan sehingga tidak diutamakan. Selain itu asa dalam menetapkan hukum haram atau batal ialah jika perbuatan itu merupakan dzariah kepada perbuatan yang batil, fasid, serta haram. Kalaulah tidak disertai dengan adanya persangkaan kuat atau keyakinan yang pasti, aqad atau perbuatan tersebut tidak bias dianggap sebagai dzari’ah yang membatalkan, sehingga perbuatan itu tergolong haram. Tambahan lagi, hokum asal dalam suatu perbuatan adalah izin (boleh) dimana tidak bisa berpindah dari hokum asal ini kecuali dengan alas an adanya kenadharatan. Dan, selama persoalanya tidak sampai pada persangkaan yang kuat. Maka hokum asal berupa izin itu tetap berlaku.
Sedangkan imam malik dan ahmad bin hanbal menetapkan bahwa perbuatan itu adalah haram dan aqadnya batal dalam rangka ikhtiyath. Oleh karena banyaknya kemadharatan di samping hukum asal berupa izin, maka disini terdapat dua hokum asal yang saling berhadapan. Disatu pihak berupa izin yang asli, dan dilain pihak hokum kemadharatan yang terdapat dalam perbuatan atau aqad yang menimpa dan menyakitkan orang lain.
Sebagai landasan hukum, terdapat banyak hadits sahih yang menerangkan tentang diharamkanya beberapa hal yang menurut hukum asalnya adalah ma’dzun fihi (didizinkan/dibolehkan), karena pada umumnya akan mendatangkan berbagai kemafsadatan, meskipun tidak didasarkan pada persangkaan kuat atau keyakinan yang pasti. Contohnya seperti larangan berduaan ditempat yang sunyi dengan perempuan lain, larangan berpergian seorang wanita tanpa dibarengi suami atau mahramnya. Keharaman di sini karena melihat kemafsadatan-kemafsadatan yang ditimbulkanya, walupun tidak ketingkat yakin. Lagi, nabi Muhammad SAW melarang jual beli dan aqad salm yang mengarah pada perbuatan riba.
Imam al-Qarafy menuturkan perbedaan ulama sekaligus jelas pembagian perbuatan di atas, sebagai berkut: “dan suatu bagian dipertentangkan oleh para ulama, apakah ia di anggap aqad salm atau tidak, seperti aqad jual beli dengan tempo. Misalnya, seorang menjual barang seharga sepuluh dirham bila dibayar di akhir bulan (tempo).tapi kalau dibeli(di bayar) sebelum akhir bulan (kontan), harganya Cuma lima dirham.imam malik berpendapat, bahwa ia berarti mengeluarkan harga barang senilai lima dirham, dan di beli seharga lima dirham secara kontan. Namun ia akan menerima sebanyak sepuluh dirham manakala dibayar di akhir bulan. Transaksi sperti ini merupakan perantara terjadinya peminjaman barang senilai lima dirham, diganti sepuluh dirham dengan tempo, yang secara lahiriah nampak seperti aqad jual beli. Karenanya, imam malik dianggap transaksi yang batil. Imam syafi’I berpendapat lain, transaksi itu masih tergolong aqad jual beli. Ia cukup melihat dari segi lahiriahnya, yang karenanya masih tetap di perbolehkan. Di perbedaan sudut pandang di atas, kedua imam tersebut banyak berbeda pendapat. Bahkan mencapai seribu masalah yang merupakan pendapat khusus imam malik, yang berbeda dari imam syafi’I. oleh karena itu, diperselisihkan persoalan “melihat wanita”,apakah haram, karena akan mendatangkan perbuatan batil berupa zina, atau tidak haram. Juga, persoalan “keputusan hakim”berdasarkan pengetahuan (bukan berdasarkan bukti-bukti, saksi, sumpah, misalnya) apakah diharamkan, karena akan menjadi perantara terjadinya peradilan yang batil oleh hakim-hakim yang jahat, atau tidak diharamkan. Begitu pula, perselisihan para ulama tentang pertanggung oleh para tukang. Karena mereka bias merekayasa barang yang dikerjakannya hingga berubah dari aslinya, dan tidak dikenali lagi oleh pemiliknya. Mereka bertanggung jawab atas semua resiko demi mencegah dzari’ah berupa mengambil barang, atau tidak wajib mengganti rugi karena pada dasarnya mereka sekedar sebagai buruh yang menerima upah. Sedang hukum asal dalam perburuhan dilakukan atas dasar kepercayaan. Demikian pula kewajiban mengganti rugi bagi pembawa makanan (petugas ekspedisi) agar mereka tidak banyak jumlahnya. Kami menganggapnya saddudz dara’I (menutup perantaraan), sementara imam syafi’I tidak berpendapat demikian. Terlepas dari itu semua, saddudz dara’I sesungguhnya bukanlah sumber pokok spesipik dari imam malik, akan tetapi dipakai oleh sebagian besar ulama, bahakan dasarnya adalah ijma ulama.
3. Macam-Macam Dzari’ah
Para ulama membagi dzari’ah berdasrkan dua segi ; segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
Dzari’ah dari Segi Kualitas Kemafsadatan
Menurut Imam Asy-Syatibi, dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam:
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulakan oleh oraktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian, dzari’ah seperti itu tidak dibolehkan.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam mengemukakan pendapatnya:
a. Dalam baiy’al-ajal perlu diperhatikan tujuan atau akibatnya, yang membawa kepada perbuatan yang mengandumg unsur riba, meskipun sifatnya sebatas praduga yang berat (galadah azh-zhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping itu perlu sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang diduga akan mambawa pada kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah:
“Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”
b. Dalam kasus bay al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual beli karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadaratan. Dalam hal ini, Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan dari kemadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.
c. Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan wanita yang bukan muhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau mahramnya, dan lain-lain.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga semata-mata, tetapi Rasulullah SAW. Melarangnya, karena perbuatan itu banyak membawa kepada kemafsadatan.
Dzari’ah dari segi Kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini diantara lain sebagai berikut:
1. Kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatan-nya.
2. Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya;
Kedua pembagian ini pun, menurutnya dibagi lagi menjadi empat bentuk:
4. Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Dikalanga ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
Alasan mereka antara lain:
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al-An’am ; 108:
Artinya:
“ Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
(QS. Al-An’Am : 108)
2. Hadits Rasulullah SAW. Antara lain:
Sesunggunya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW. ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan bapaknya. Rasulullah SAW. menjawab, “seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci ibunya.
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila ada uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meninggalkan shalat jum’at dan dibolehkan mengganting dengan shalat dzuhur. Namun, shalat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum Universitas Kairo, Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima sadd al-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul:
a. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
b. Dari segi dampaknya (akibat), misalnya orang muslim mencaci maka sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:
اَلْمُعْتَبَرُفِ أَوَامِرِ اللهِ اَلْمَعْنىَ وَالْمُعْتَبَرُفِ أُمُوْرِ اْلعِبَادِ اَ ْلاِ سْمُ وَالَّلفْظُ.
Artinya:
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya”.
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka berlaku kaidah:
“Yang menjadi patokan dasr dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh dan bentuk formal (ucapan).”
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hambaliyah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada indikator yang menunjukan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid (rusak0, namun tidak ada efek hukumnya.
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.
5. Fath Adz-Dzari’ah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu ada kalanya dilarang yang disebut sadd adz-dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti diatas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah:
“Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib”
Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah :
“Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.”
Misalnya, seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihat auratnya , karena hal iitu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai fath adz-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, dan sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian jelaslah bahwa dzarai merupakan sumber pokok hukum islam yang dipakai para ulama secara konsensus. Perbedaan pendapat di sini hanya terletak pada penentuan kriterianya. Mereka pada prinsipnya tetap sepakat bahwa dzarai’ah ini merupakan sumber pokok yang diakuai dan berdiri sendiri. Masalah-masalah fiqhiyah yang ketetapan hukum mubah berdasarkan Dzarai di antaranya sebagai berikut.
1. Penyerahan harta tebusan untuk mengambil kaum muslimin yang tertawan. Ditinjau dari hukum asal, perbuatan itu adalah haram. Karena berarti memperkuat musuh, dan mengancam kedudukan kaum muslimin. Penyerahan tebusan itu menjadi jaiz/mubah, karena menyangkut pembebasan sejumlah tawanan perang dari perbudakan sekaligus memperkokoh pasukan muslimin. Contoh ini termasuk dalam konteks dzarai bukan saddu dzarai.
2. Pemberian upeti kaum muslimin kepada Negara musuh untuk menghindarkan kelalimanya, apabila golongan muslimin tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi pemerintahan yang berkuasa dan demi mempertahankan wilayahnya.
3. Pemberian uang suap untuk mencegah terjadinya kedaliman, apabila ia tidak mampu menghadapinya kecuali dengan cara itu. Sebagian besar ulama madzhab hanbali dan maliky memperbolehkanya, jika dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang hak yang murni dan pemberian suap merupakan jalan satu-satunya. Namun apabila dapat dilawan oleh orang yang lebih tinggi atau sederajat, maka perbuatan menyuap jelas tidak diperbolehkan. Begitu pula, apabila kebenaran itu dapat ditempuh dengan cara lain, meski harus dengan susah payah.
4. Memberikan harta uang kepada orang-orang yang menghalangi perjalanan haji. Mereka menahan perjalanan jama’ah haji yang hendak menuju ke baitullah al-haram kecuali apabila para jama’ah mau mengalah dengan memberi sejumlah uang. Maka, sebagian ulama madzhab dan hanbali memperbolehkannya.
Meski demikian, pemakaian Dzarai’ tentu saja tidak terlalu dilakuakan secara berlebihan. Sebab kalau diterapkan dengan tanpa batas, terkadang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan perkara yang sebenarnya mubah, mandub atau bahkan wajib, karena takut terperosok kedalam kedzaliman, seperti keengganan sebagian orang yang adil untuk mengelola harta benda anak yatim atau harta waqaf, karena kwatir timbulnya berbagai tuduhan orang atau takut dirinya terpeleset dalam kedzaliman. Dan, memang berdasarkan observasi diketahui bahwa sebagian orang tidak mau mengerjakan berbagai perbuatan gara-gara takut terjatuh kedalam perbuatan haram. Oleh karena itu, Ibnu Araby di dalam kitabnya “Ahkam al-Qur’an” menetapkan criteria bahwa setiap perbuatan yang diharamkan karena dzariah, harus disertai dengan landasan nashnya, bukan semata-mata karena qiyas atau dzari’ah saja.
Jadi setiap perkara yang ditakutkan dimana allah telah menyerahkan seepenuhnya kepada amanat orang mukallaf, tidak bisa dikatakan sebagai dzari’ah kepada perbuatan terlarang sehingga ia tidak mau mengerjakannya. Sebagaimana allah menjadikan wanita terpercaya dalam hal menyangkut pengakuan akan kesuciannya, meskipun mengandung akibat yang cukup besar sehubungan dengan ucapan itu, dan menyangkut pula soal kehalalan, keharman dan hubungan nasab, walaupun adalah sangat mungkin wanita itu berbuat bohong.berikut ini merupakan hasil kajian ilmiah yang cukup mendalam, yang menetapkan dua prinsip :
1. Dzara’I dipakai apabila mengakibatkan kepada kerusakan yang ditetapokan berdasarkan nash. Begitu pula sebaliknya, apabila mengarah kepada perbuatan halal yang ada nashnya, maka nebutp dzari’ah dalam hal yang pertama dilkaukan karena adanya mafsadah yang diketahui berdasarkan nash; dan membuka dzari’ah dalam hal yang kedua dilakukan karena adanya maskalahat yang diketahui berdasarkan nash pula. Hal ini cukup beralasan, bahwa maslahat atau mafsadah yang diketahui berdasarkan nash dapat dipastikan kebenarannya. Dengan demikian dzara’I tidak lain keculi dimaksudkan untuk melayani nash. Tetapi prinsip ini hanya diperkenalkan oleh ibnu arabi, sedang kitab-kitab ushul madzhab maliki tidak menuturkannya. Dari segi lahiriahnya, nampaknya kitan-kitab tersebut tidak mensyaratkan adanya syarat itu.
2. Perkara-perkara yang berhubungan dengan amanat dalam hukum-hukum syara’ bukan berarti tidak memperhitungkan kemungkinan terjadinya khiyanat pada saat tertentu. Sebab bahaya yang merupaqkan akibat dari menutup dzariah lebih banyak dari pada bahaya yang dihindarkan melalui meninggalkan dzariah. Maka seandainya perwalian terhadap anak yatim ditinggalkan demi menutupi dzari’ah, maka akan berakibat tersia-sianya nasib anak-anak yatim. Dan seandainya kesaksian para saksi ditolak dalam rangka menutup dzari’ah or ang-orang yang berbuat bohong, niscaya hak-hak si kurban akan tersia-siakan. Dan demikianlah seterusnya.
Dengan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang mukallaf ketika hendak mengambil dzari’ah harus memperhatikan dan membandingkan madharat/ bahaya masing-masing, antara memakai atau meninggalkkan dzari’ah. Mana yang lebih unggul, itulah yang diambil dan allah SWT maha mengetahui orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat kerusakan
Dari segi etimologi,, dzari’ah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dzari’ah menurut istilah ahli hukum islam, ialah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan dan dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya. Jelasnya, perbuatan yang membawa kearah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa kearah haram adalah haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas pelaksananya perbuatan wajib adalah wajib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, terlihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan di sini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi atas dua bagian :
1. Maqasid (tujuan atau sasaran) yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau masafdat.
2. Wasail atau perantara yaitu adalah jalan atau perantara yang membawa kepada maqasid, di mana hukumnya mengikuti hukum perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik yang berupa halal atau yang haram.
Abu Zahrah Muhammad,Ushul al-Fiqh, Jakarta : Puusaka Firdaus, 2007.
Syafe’I Rahmat, Ushul Fiqh, Universitas Islam Negeri Bandung, 2000.
Untuk makalah yg lengkap dengan Footnote dapat didownlod gratis disini
Orang-orang dalam menjalani hidupnya haruslah dinilai sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah, bukan hanya melihat dari segi status sosial ataupun material saja. Ukuran dalam menjalani hidup sama saja dihadapan Allah SWT yang membedakan hanya kadar ketakwaan kita, bukan berdasarkan dari status sosial atau materil dalam pandangan manusia saja.
Disamping itu, kalau seorang muslim dalam menjalani kehidupannya bisa dan tidak mudah terpengaruh akan segala ritangan yang selalu menghadang dalam setiap langkah hidupnya dan mempunyai filter dalam menyaring segala permasalah yang terjadi dalam konteks hukum Islam.
Permasalahan dalam menetapkan Hukum Islam adalah Sebuah permasalahan yang sering muncul dan perlu adanya sebuah penyelasaian yang mana penyelesaian masalah tersebut tidaklah keluar dari sebuah ketetapan hukum Allah SWT yang sudah tercantum dalam Firmannya yakni Al-qur’an dan Sunnahnya Rasulullah SAW.
Manusia dizaman modern ini diharapkan pada masalah ketetapan Hukum Islam cukup serius. Maka oleh sebab itu khazanah fikiran dan pandangan dalam menyikapi mesti adanya suatu pengembangan pola fikir yang lebih baik.
Dengan demikian, menjadi sangatlah penting kita mempelajari hal-hal yang berkenaan suatu permasalahan yang banyak dialami sekarang ini. Namun penjabaran dalam mempelajari sebuah ketetapan Hukum seseorang tidaklah mudah, oleh sebab itu dituntut untuk tidak berjalan begitu saja dan tidak akan sempurna dalam proses mengetaui ketetapan hukum tersebut.
B. Tujuan
Didalam penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk menambah wawasan dalam pengetahuan mengenai materi Ushul Fiqh yang mana didalamnya membahas mengenai sebuah ketetapan hokum salah satunya membahas mengenai Ketetapan Dzari’ah dan juga untuk memenuhi tugas salah satu tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqh.
C. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas maka penulis mengajukan beberapa masalah berupa :
1. Apa-apa saja yang menyebabkan timbulnya sebuah ketetapan Dzari’ah?
2. Untuk Apakah ketetapan hukum tersebut digunakan?
BAB II
PEMBAHASANDZARI’AH
1. Pengertian Dzari’ah Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarnya Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Dari segi etimologi,, dzari’ah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dzari’ah menurut istilah ahli hukum islam, ialah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan dan dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya. Jelasnya, perbuatan yang membawa kearah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa kearah haram adalah haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas pelaksananya perbuatan wajib adalah wajib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, terlihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan di sini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi atas dua bagian :
1. Maqasid (tujuan atau sasaran) yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau masafdat.
2. Wasail atau perantara yaitu adalah jalan atau perantara yang membawa kepada maqasid, di mana hukumnya mengikuti hukum perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik yang berupa halal atau yang haram.
Dengan demikian, yang menjadi dasar dieterimanya dzara’i (atau jamka dari dzari’ah) sebagai sumber pokok hukum islam ialah tinjauan terhadap akibat suatu perbuatan. Apabila perbuatan itu mengarah kepada sesuatu yang diperintahkan (mathlub), maka ia menjadi mathlub (diperintahkan). Sebaliknya jikalau perbuatan itu mengarah kepada perbuatan buruk maka ia menjadi terlarang.
hadits-hadits Nabi yang menerangkan tentang dzari’ah cukup banyak, antara lain:
a. Nabi Muhammad SAW melarang orang yang mengutangi, menerima hadiah dari orang yang berhutang agar hal tersebut tidak mengarah kepada perbuatan riba di mana penerimaan hadiah itu dianggap sebagai ganti dari bunga.
b. Nabi muhamad SAW melarang perbuatan menimbun harta.
Beliau bersabda:
لاَتَحْتَكِرُاِلاَّخَاطِىءٌ
Artinya: “Tidak perbuat menimbun harta kecuali orang yang berbuat salah.”
Sebab penimbunan harta merupakan dzari’ah yang menyebabkan terjadinya kesulitan atau krisis perekonomian masyarakat, selain perbuatan menimbun harta itu sendiri memang haram hukumnya. Oleh karena itu, mengimport barabng kebutuhan pkok adalah wajib pada masa paceklik, karena hal ini merupakan kesulitan dzari’ah yang dapat melepaskan masyarakat dari kesulitan perekonomian.
Nabi bersabda :
اَلْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ
Artinya : “Seorang importer akan mendapatkan kelapangan rizki”
Nabi Muhammad SAW melarang seorang membeli barang yang telah disedekahkan kepada orang lain, walaupun ia mendapatkannya terjual di pasar, demi menghindari dari dzari’ah berupa di tariknya kembali barang yang telah dike;uarkan untuk orang lain karena allah, meskipun dengan iwadl (pengganti). Kadangkala hal itu merupakan dzari’ah untuk memperdaya kaum fakir miskin dengan jalan menyerahkan sedekah hartanya,lalu menarik kembali melalui cara pembelian dengan penipuan yang keji, malahan kadang-kadang hal itu dijadikan persyaratan untuk pemberian sedekah tersebut.
Demikianlah kita dapat banyak hadist/atsar yang menopang dipakainya dzariah sebagai satu sumber pokok (ashl) untuk istinbhat hokum, dimana assalnya adalah melihat kepada akibat dari suatu perbuatan.
Sebagai catatan, bahwa kebanyakan contoh-contoh dzari’ah bersifat menghindarkan kerusakan (daf ulmafsadah). Padahal sebenarnya dzari;ah dipakai juga untuk menarik kemanfaatan (jalbulmanafi). Oleh karena itu Imam Alkarofi berkata : “ ketahuilah bahwa dzari;ah sebagaimana halnya ditutup atau ditolak kehadirannya, juga wajib dibuka atau diterima kehadirannya. Ia bisa bersetatus makruh,atau mubah. Sebab dzari’ah pada dasarnya adalah wasilah atau perantaraan. Sebagaimana halnya wasilah perbuatan yang wajib adalah wajib seperti berjalan menuju ke mesjid untuk menunaikan shalat jum’at. Diantara contoh-contoh yang telah kami sebutkan dimuka, ada yang membuka pintu dzari’ah atau (fathu adz-dzari’ah) kepada perbuatan yang diperintahkan (mathlub), yakni tentang import barang-barang sebagaimana disyaratkan oleh hadist diatas
2. Sadd Adz-Dzari’ah
Pengertian sadd Adz-dzari’ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah:
اَتَّوَصَّلُ بِمَاهُوَمَصْلَحَةٌ اِلَى مَفْسَدَةٍ
Artinya: “Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).”
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzari’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
- Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
- Kemafsadatan lebih kuat daripada kemaslahatan.
- Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.
Perbuatan yang jika dikerjakan, kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadah, akan tetapi tidak sampai ketingkat keyakinan yang pasti. Hal ini biasanya terjadi dlam bentuk jual beli yang biasa dijadikan dzari’ah untuk melakukan perbuatan riba. Contohnya seperti aqad salm yang dimaksud oleh orang yang melakukan transaksi untuk memperoleh riba dengan berkedok transaksi jual beli. Misalnya, ia menyerahkan tsaman (harga)-pada waktu berlangsung transaksi-dibawah harga barang yang sesungguhnya (porsekot) dengan tujuan agar memperoleh riba. Kemungkinan terjadinya kerusakan dalam kasus itu relatif besar, meskipun tidak sampai pada tingkatan persangkaan kuat atau yakin.
Bagian ini termasuk masalah yang dipersilihsikan para ulama; apakah dianggap sebgai dzari’ah yang berakibat kerusakan sehingga tasaruf itu batal, dan perbuatan itu haram karena mengutamakan segi kemafsadatanya; atau tidak dianggap sebagai dzari’ah sehingga akad tersebut tidak batal, dan perbuatan itu tidak haram, karena berpegang pada hukum asal, yaitu izin terhadap perbuatan tersebut. Imam abu hanifah dan imam syafi’I mungunggulkan segi izin, tidak mengharamkan perbuatan itu, dan tidak membatalkan tasarrufbnya. Alasanya, karena kerusakannya bukan yang dominan sehingga tidak diutamakan. Selain itu asa dalam menetapkan hukum haram atau batal ialah jika perbuatan itu merupakan dzariah kepada perbuatan yang batil, fasid, serta haram. Kalaulah tidak disertai dengan adanya persangkaan kuat atau keyakinan yang pasti, aqad atau perbuatan tersebut tidak bias dianggap sebagai dzari’ah yang membatalkan, sehingga perbuatan itu tergolong haram. Tambahan lagi, hokum asal dalam suatu perbuatan adalah izin (boleh) dimana tidak bisa berpindah dari hokum asal ini kecuali dengan alas an adanya kenadharatan. Dan, selama persoalanya tidak sampai pada persangkaan yang kuat. Maka hokum asal berupa izin itu tetap berlaku.
Sedangkan imam malik dan ahmad bin hanbal menetapkan bahwa perbuatan itu adalah haram dan aqadnya batal dalam rangka ikhtiyath. Oleh karena banyaknya kemadharatan di samping hukum asal berupa izin, maka disini terdapat dua hokum asal yang saling berhadapan. Disatu pihak berupa izin yang asli, dan dilain pihak hokum kemadharatan yang terdapat dalam perbuatan atau aqad yang menimpa dan menyakitkan orang lain.
Sebagai landasan hukum, terdapat banyak hadits sahih yang menerangkan tentang diharamkanya beberapa hal yang menurut hukum asalnya adalah ma’dzun fihi (didizinkan/dibolehkan), karena pada umumnya akan mendatangkan berbagai kemafsadatan, meskipun tidak didasarkan pada persangkaan kuat atau keyakinan yang pasti. Contohnya seperti larangan berduaan ditempat yang sunyi dengan perempuan lain, larangan berpergian seorang wanita tanpa dibarengi suami atau mahramnya. Keharaman di sini karena melihat kemafsadatan-kemafsadatan yang ditimbulkanya, walupun tidak ketingkat yakin. Lagi, nabi Muhammad SAW melarang jual beli dan aqad salm yang mengarah pada perbuatan riba.
Imam al-Qarafy menuturkan perbedaan ulama sekaligus jelas pembagian perbuatan di atas, sebagai berkut: “dan suatu bagian dipertentangkan oleh para ulama, apakah ia di anggap aqad salm atau tidak, seperti aqad jual beli dengan tempo. Misalnya, seorang menjual barang seharga sepuluh dirham bila dibayar di akhir bulan (tempo).tapi kalau dibeli(di bayar) sebelum akhir bulan (kontan), harganya Cuma lima dirham.imam malik berpendapat, bahwa ia berarti mengeluarkan harga barang senilai lima dirham, dan di beli seharga lima dirham secara kontan. Namun ia akan menerima sebanyak sepuluh dirham manakala dibayar di akhir bulan. Transaksi sperti ini merupakan perantara terjadinya peminjaman barang senilai lima dirham, diganti sepuluh dirham dengan tempo, yang secara lahiriah nampak seperti aqad jual beli. Karenanya, imam malik dianggap transaksi yang batil. Imam syafi’I berpendapat lain, transaksi itu masih tergolong aqad jual beli. Ia cukup melihat dari segi lahiriahnya, yang karenanya masih tetap di perbolehkan. Di perbedaan sudut pandang di atas, kedua imam tersebut banyak berbeda pendapat. Bahkan mencapai seribu masalah yang merupakan pendapat khusus imam malik, yang berbeda dari imam syafi’I. oleh karena itu, diperselisihkan persoalan “melihat wanita”,apakah haram, karena akan mendatangkan perbuatan batil berupa zina, atau tidak haram. Juga, persoalan “keputusan hakim”berdasarkan pengetahuan (bukan berdasarkan bukti-bukti, saksi, sumpah, misalnya) apakah diharamkan, karena akan menjadi perantara terjadinya peradilan yang batil oleh hakim-hakim yang jahat, atau tidak diharamkan. Begitu pula, perselisihan para ulama tentang pertanggung oleh para tukang. Karena mereka bias merekayasa barang yang dikerjakannya hingga berubah dari aslinya, dan tidak dikenali lagi oleh pemiliknya. Mereka bertanggung jawab atas semua resiko demi mencegah dzari’ah berupa mengambil barang, atau tidak wajib mengganti rugi karena pada dasarnya mereka sekedar sebagai buruh yang menerima upah. Sedang hukum asal dalam perburuhan dilakukan atas dasar kepercayaan. Demikian pula kewajiban mengganti rugi bagi pembawa makanan (petugas ekspedisi) agar mereka tidak banyak jumlahnya. Kami menganggapnya saddudz dara’I (menutup perantaraan), sementara imam syafi’I tidak berpendapat demikian. Terlepas dari itu semua, saddudz dara’I sesungguhnya bukanlah sumber pokok spesipik dari imam malik, akan tetapi dipakai oleh sebagian besar ulama, bahakan dasarnya adalah ijma ulama.
3. Macam-Macam Dzari’ah
Para ulama membagi dzari’ah berdasrkan dua segi ; segi kualitas kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
Dzari’ah dari Segi Kualitas Kemafsadatan
Menurut Imam Asy-Syatibi, dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam:
- Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur didepan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilk rumah jatuh kedalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
- Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan, misalnya makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
- Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kamafsadatan. Seperti menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
- Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan.
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulakan oleh oraktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian, dzari’ah seperti itu tidak dibolehkan.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam mengemukakan pendapatnya:
a. Dalam baiy’al-ajal perlu diperhatikan tujuan atau akibatnya, yang membawa kepada perbuatan yang mengandumg unsur riba, meskipun sifatnya sebatas praduga yang berat (galadah azh-zhann), karena syara’ sendiri banyak sekali menentukan hukum berdasarkan praduga yang berat, disamping itu perlu sikap hati-hati (ihtiyat). Dengan demikian, suatu perbuatan yang diduga akan mambawa pada kemafsadatan bisa dijadikan dasar untuk melarang suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal, berdasarkan kaidah:
دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّ مٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
Artinya : “Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”
b. Dalam kasus bay al-ajal terdapat dua dasar yang bertentangan, antara sahnya jual beli karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga seseorang dari kemadaratan. Dalam hal ini, Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan dari kemadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa pada kemafsadatan.
c. Dalam nash banyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafsadatan sehingga dilarang, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh bergaul dengan wanita yang bukan muhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari tiga hari tanpa muhrim atau mahramnya, dan lain-lain.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga semata-mata, tetapi Rasulullah SAW. Melarangnya, karena perbuatan itu banyak membawa kepada kemafsadatan.
Dzari’ah dari segi Kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini diantara lain sebagai berikut:
- Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mufsadat
- Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadiakan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik sengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil).
1. Kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatan-nya.
2. Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya;
Kedua pembagian ini pun, menurutnya dibagi lagi menjadi empat bentuk:
- Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini dilarang syara’.
- Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakuakan sutu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil).
- Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan untuk melakukan suatu kemafsadatan, tetapi berakibat timbu,nya suatu kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki Allah.
- Suatu pekarjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi adakalanya menimbulkan kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Menurut Ibnu Qayyim, kemaslahatan lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai kebutuhan.
4. Kehujjahan Sadd Adz-Dzari’ah
Dikalanga ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.
Alasan mereka antara lain:
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al-An’am ; 108:
Artinya:
“ Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”
(QS. Al-An’Am : 108)
2. Hadits Rasulullah SAW. Antara lain:
اِنَّ مِنْ اَكْبَرِ الْكَبَائِرِ اَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ. قِيْلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ , كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ َوالِدَيْهِ ؟ قَلَ: يَسُبُّ اَبَاالرَّجُلِ فَيَسُبُّ اَبَاهُ, وَيَسُبُّ اُمَّهُ فَيَسُبُّ اُمُّهُ. (رواه البخارى ومسلم وابوداود
Artinya : Sesunggunya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW. ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan bapaknya. Rasulullah SAW. menjawab, “seseorang yang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka orang lain pun akan mencaci ibunya.
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila ada uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan meninggalkan shalat jum’at dan dibolehkan mengganting dengan shalat dzuhur. Namun, shalat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas Hukum Universitas Kairo, Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima sadd al-dzari’ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul:
a. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki yang menikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertama. Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
b. Dari segi dampaknya (akibat), misalnya orang muslim mencaci maka sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah. Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak dengan Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sadd al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukan niat dari perilaku maka berlaku kaidah:
اَلْمُعْتَبَرُفِ أَوَامِرِ اللهِ اَلْمَعْنىَ وَالْمُعْتَبَرُفِ أُمُوْرِ اْلعِبَادِ اَ ْلاِ سْمُ وَالَّلفْظُ.
Artinya:
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya”.
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator yang ada, maka berlaku kaidah:
اَلْعِبْرَةُ فِ اْلعُقُوْدِ بِالْمَقَا صِدِ وَاْلمَعَانِى َلا بِاْلأَ لْفَاظِ وَالْمَبَانِى.
Artinya: “Yang menjadi patokan dasr dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh dan bentuk formal (ucapan).”
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hambaliyah, yang menjadi ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada indikator yang menunjukan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatannya dianggap fasid (rusak0, namun tidak ada efek hukumnya.
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.
5. Fath Adz-Dzari’ah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari’ah itu ada kalanya dilarang yang disebut sadd adz-dzari’ah, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath adz-dzari’ah. Misalnya meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan seperti diatas tidak termasuk kepada dzari’ah, tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila upaya dalam rangka melaksanakan kewajiban tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah:
مَ لاَيَتَمُّ الْوَاجِبِ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ.
Artinya : “Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun wajib”
Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah :
مَادَلَّ عَلَى حَرَامٍ فَهُوَ حَرَامٌ
Artinya : “Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.”
Misalnya, seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrimnya atau melihat auratnya , karena hal iitu akan membawa perbuatan haram yaitu zina. Menurut jumhur, melihat aurat dan berkhalwat dengan wanita yang bukan muhrim itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai fath adz-dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, dan sebagian Malikiyah menyebutnya sebagai muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah dzari’ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian jelaslah bahwa dzarai merupakan sumber pokok hukum islam yang dipakai para ulama secara konsensus. Perbedaan pendapat di sini hanya terletak pada penentuan kriterianya. Mereka pada prinsipnya tetap sepakat bahwa dzarai’ah ini merupakan sumber pokok yang diakuai dan berdiri sendiri. Masalah-masalah fiqhiyah yang ketetapan hukum mubah berdasarkan Dzarai di antaranya sebagai berikut.
1. Penyerahan harta tebusan untuk mengambil kaum muslimin yang tertawan. Ditinjau dari hukum asal, perbuatan itu adalah haram. Karena berarti memperkuat musuh, dan mengancam kedudukan kaum muslimin. Penyerahan tebusan itu menjadi jaiz/mubah, karena menyangkut pembebasan sejumlah tawanan perang dari perbudakan sekaligus memperkokoh pasukan muslimin. Contoh ini termasuk dalam konteks dzarai bukan saddu dzarai.
2. Pemberian upeti kaum muslimin kepada Negara musuh untuk menghindarkan kelalimanya, apabila golongan muslimin tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi pemerintahan yang berkuasa dan demi mempertahankan wilayahnya.
3. Pemberian uang suap untuk mencegah terjadinya kedaliman, apabila ia tidak mampu menghadapinya kecuali dengan cara itu. Sebagian besar ulama madzhab hanbali dan maliky memperbolehkanya, jika dimaksudkan untuk mendapatkan sesuatu yang hak yang murni dan pemberian suap merupakan jalan satu-satunya. Namun apabila dapat dilawan oleh orang yang lebih tinggi atau sederajat, maka perbuatan menyuap jelas tidak diperbolehkan. Begitu pula, apabila kebenaran itu dapat ditempuh dengan cara lain, meski harus dengan susah payah.
4. Memberikan harta uang kepada orang-orang yang menghalangi perjalanan haji. Mereka menahan perjalanan jama’ah haji yang hendak menuju ke baitullah al-haram kecuali apabila para jama’ah mau mengalah dengan memberi sejumlah uang. Maka, sebagian ulama madzhab dan hanbali memperbolehkannya.
Meski demikian, pemakaian Dzarai’ tentu saja tidak terlalu dilakuakan secara berlebihan. Sebab kalau diterapkan dengan tanpa batas, terkadang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan perkara yang sebenarnya mubah, mandub atau bahkan wajib, karena takut terperosok kedalam kedzaliman, seperti keengganan sebagian orang yang adil untuk mengelola harta benda anak yatim atau harta waqaf, karena kwatir timbulnya berbagai tuduhan orang atau takut dirinya terpeleset dalam kedzaliman. Dan, memang berdasarkan observasi diketahui bahwa sebagian orang tidak mau mengerjakan berbagai perbuatan gara-gara takut terjatuh kedalam perbuatan haram. Oleh karena itu, Ibnu Araby di dalam kitabnya “Ahkam al-Qur’an” menetapkan criteria bahwa setiap perbuatan yang diharamkan karena dzariah, harus disertai dengan landasan nashnya, bukan semata-mata karena qiyas atau dzari’ah saja.
Jadi setiap perkara yang ditakutkan dimana allah telah menyerahkan seepenuhnya kepada amanat orang mukallaf, tidak bisa dikatakan sebagai dzari’ah kepada perbuatan terlarang sehingga ia tidak mau mengerjakannya. Sebagaimana allah menjadikan wanita terpercaya dalam hal menyangkut pengakuan akan kesuciannya, meskipun mengandung akibat yang cukup besar sehubungan dengan ucapan itu, dan menyangkut pula soal kehalalan, keharman dan hubungan nasab, walaupun adalah sangat mungkin wanita itu berbuat bohong.berikut ini merupakan hasil kajian ilmiah yang cukup mendalam, yang menetapkan dua prinsip :
1. Dzara’I dipakai apabila mengakibatkan kepada kerusakan yang ditetapokan berdasarkan nash. Begitu pula sebaliknya, apabila mengarah kepada perbuatan halal yang ada nashnya, maka nebutp dzari’ah dalam hal yang pertama dilkaukan karena adanya mafsadah yang diketahui berdasarkan nash; dan membuka dzari’ah dalam hal yang kedua dilakukan karena adanya maskalahat yang diketahui berdasarkan nash pula. Hal ini cukup beralasan, bahwa maslahat atau mafsadah yang diketahui berdasarkan nash dapat dipastikan kebenarannya. Dengan demikian dzara’I tidak lain keculi dimaksudkan untuk melayani nash. Tetapi prinsip ini hanya diperkenalkan oleh ibnu arabi, sedang kitab-kitab ushul madzhab maliki tidak menuturkannya. Dari segi lahiriahnya, nampaknya kitan-kitab tersebut tidak mensyaratkan adanya syarat itu.
2. Perkara-perkara yang berhubungan dengan amanat dalam hukum-hukum syara’ bukan berarti tidak memperhitungkan kemungkinan terjadinya khiyanat pada saat tertentu. Sebab bahaya yang merupaqkan akibat dari menutup dzariah lebih banyak dari pada bahaya yang dihindarkan melalui meninggalkan dzariah. Maka seandainya perwalian terhadap anak yatim ditinggalkan demi menutupi dzari’ah, maka akan berakibat tersia-sianya nasib anak-anak yatim. Dan seandainya kesaksian para saksi ditolak dalam rangka menutup dzari’ah or ang-orang yang berbuat bohong, niscaya hak-hak si kurban akan tersia-siakan. Dan demikianlah seterusnya.
Dengan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang mukallaf ketika hendak mengambil dzari’ah harus memperhatikan dan membandingkan madharat/ bahaya masing-masing, antara memakai atau meninggalkkan dzari’ah. Mana yang lebih unggul, itulah yang diambil dan allah SWT maha mengetahui orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat kerusakan
BAB III
KESIMPULAN
Pengertian dzari’ah ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantarnya Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan). Dari segi etimologi,, dzari’ah berarti wasilah (perantaraan). Sedang dzari’ah menurut istilah ahli hukum islam, ialah suatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan dan dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang dikenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasaranya. Jelasnya, perbuatan yang membawa kearah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa kearah haram adalah haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas pelaksananya perbuatan wajib adalah wajib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, terlihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan di sini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi atas dua bagian :
1. Maqasid (tujuan atau sasaran) yakni perkara-perkara yang mengandung maslahat atau masafdat.
2. Wasail atau perantara yaitu adalah jalan atau perantara yang membawa kepada maqasid, di mana hukumnya mengikuti hukum perbuatan yang menjadi sasarannya (maqasid), baik yang berupa halal atau yang haram.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mushthafa I Ilm Al-Ushul, Beirut : Dar Al-kutub Al-Ilmiyah. Abu Zahrah Muhammad,Ushul al-Fiqh, Jakarta : Puusaka Firdaus, 2007.
Syafe’I Rahmat, Ushul Fiqh, Universitas Islam Negeri Bandung, 2000.
Untuk makalah yg lengkap dengan Footnote dapat didownlod gratis disini