Pages

TASAWUF AKHLAKI

Menurut Amin syukur, ada dua aliran dalam tasawuf. Peretama, aliran tasawuf sunni, yaitu bentuk tasawuf yang memagaridirinya dengan Al-quran dan al-haditssecara ketat,serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqomat (tingkatan rohaniah)mereka pada dua sumber tersebut. Kedua, Aliran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat kompromi, dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya dikatakan tasawuf; dan juga tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai filsafat.
A. HASAN AL-BASRI
1.Riwayat hidup
Hasan Al- Basri, yang nama lengkapnya Sa’id Al- Hasan bin Yasar adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H (632H). Ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin Khaththab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badar dan 300 sahabat lainnya.
Dialah yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa diMejid Bashrah.ajaran-ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunah Nabi.sahabat Nabi yang masih hidup pada saat itu pun mengakui pada kebesarannya. Suatu ketika seorang datang kepada Anas bin Malik sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain dalam diri Hasan, Abu Qatadah pernah berkata , “Bergurulah pada syeh ini.saya sudah saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang tabi’in pun yang menyerupai sahabat Nabi selainnya.
2. Ajaran-ajaran tasawufnya
Abu Nain Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai beikut, “ takut (khauf) dan pengharapan(raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan ; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah. “pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata, “demikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu hanya dijadikan untuk ia (Hasan Al-Bashri).
Lebih jauh lagi, Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini.
a. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa tentran yang menimbulkan perasaan takut.
b. Dunia adalah negeri tempat beramal.barang siapa bertemu dunia dengan perasaanbenci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun,barang siapa yang bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya bertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak akan ditanggungnya.”
c. “tafakur membawa kita pada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya. Menyesal ataas perbuatan jahat menyebabkan kita bermaksud untuk tidak mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapapun banyakya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa betapapun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan.”
d. “dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.”
e. “orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut ; takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.”
f. “hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.”
g. Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal saleh.”
Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar filsafat Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan didalam neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya. Tetapi kebesaran jiwanya yang akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya itu.sikapnya itu senada dengan sabda Nabi yang berbunyi, “Orang beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.
B. AL-MUHASIBI PANDANGAN TASAWUFNYA
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (w.243 H) menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala mengamati madzhab-madzhab yang dianut umat islam. Al-muhasibi menemukan kelompok didalamnya. Diantara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan, anmun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi keduniaan. Diantara mereka terdapat pula orang-orang terkesan sedang melakukan ibadah karenaAllah,tetapi sesunguhnya tidak demikian.
Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulallah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas, maka seorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulallah dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia.
1. pandangan Al-Muhasibi tentang ma’rifat
Al-Muhasibi berbicara pula tentang ma’rifat. Ia pun menulis sebuah buku tentangnya, namun, dikabarkan bahwa ia tidak diketahui alasannya kemudian membakarnya. Ia sangat berhati-hati dalam menjelaskan batasa-batasan agama,dan tidak mendalami pengertian batin agama yang dapat mengaburkan pengertian lahirnya dan menyebabkan keraguan. Inilah yanfg mendasarinya untuk memuji sekelompok sufi yang tidak berlebih-lebihan dalam menyelami pengertian batin agama. Dalam konteks ini pula ia menuturkan sebuah hasits Nabi yang berbunyi, “ pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan jangan coba-coba memikirkan Dzat Allah sebab kalian akan tersesat karenanya.” Berdasarkan hadits diatas dan hadis-hadis senada, Al-Muhasibi mengatakan bahwa ma’rifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut:
a. Taat, awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud kongkrit ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan samat. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Kemudian sinar ini melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c. Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkan baqa’.
2. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan etika-etika, keagamaan lainnya.yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’, seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal wara’ , menurutnya, adalah ketakwaan pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (musabat al-nafs) ; pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentanga janji dan ancaman Allah; pangakal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf dan raja’, menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu dikaitkan dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah.Untuk itu, ia menganggap apa yang diungkapkan ibnu Sina dan Rabi’ah al-‘adawiyyah sebagai jenis fana atau kecintaan kepada Allah yang berlebih lebihan dan keluar dari garis yang telah di jelaskan Islam sendiri serta bertentangan dengan apa yang diyakini para sufi dari kalangan ahlusunnah, Al-muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-quran jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.Ajakan ajakan Al-quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (suggesti) dan tarhib (ancaman).....

untuk lebih jelasnya anda dapat mendownload artikel ini disini