Pages

Kalimat dalam tata bahasa Arab

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang memberikan rahmat dan karunianya kepada kita sekalian.. Salawat beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada nabi Muhammad saw, keluarganya, sahabatnya, tabi`in dan tabi`atnya beserta kepada kita sekalian selaku umatnya.
Kami bersyukur sekali atas
nikmatnya, sehingga saya dapat menyelesaikan sebuah makalah yang temanya”Memahami Sejarah Perkembangan Kritik Sastera di Nusantara”. Tujuan dibuatnya makalah ini supaya khususnya para pembaca memahami dan tahu tentang perkembangan sastera di nusantara.
Walaupun penyusunan makalah ini diusahakan secara maksimal, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini banyak kekurangan. Untuk itu penulis mengharapakan saran dan kritik yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca umumnya. Amiin

Bandung, 10 Maret 2009

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Ayyam Al-Arab adalah peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab, dan Al-Ansab (genealogi) secara umum menjadi symbol kebanggan masyarakat Arab. Ayyam Al-Arab merekam peristiwa-peristiwa atau peperangan-peperangan yang pernah terjadi antar kabilah atau antar suku. Sedangakan Al-Ansab memuat silsilah keturunan, dan mereka merasa bangga apabila berasal dari keturunan yang terhormat.Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra, baik berupa syair maupun prosa. Dalam pandangan masyarakat jahiyiah, kedua pengetahuan ini dianggap sebagai peristiwa yang bernilai sejarah, dan secara tidak langsung mereka dituntut untuk menghapalnya .
Tema “bahasa dan sastera daerah” dan “bahasa dan sastera nasional” merupakan suatu tema dan subtema dalam suatu persoalan yang lebih besar yaitu tempat atau peranan bahasa dan sastera dalam kehidupan kebudayaan nasional kita.
Meskipun demikian, sastera daerah tradisional, yang bersifat lisan ataupun tertulis, yang mempunyai bentuk-bentuk pengucapan tersendiri, tetap hidup dan berkembang. Dalam bahasa melayu misalnya tetap berkembang jenis sastera seperti pantun, hikayat dan lainya. Karya-karya sastera berbentuk tradisional sperti itu, baik yang lama maupun ciptaan baru, dicetak dan masuk kedalam jalur pemasaran masyarakat kekotaan.
Dilihat secara demikian memang ada benarnya pandangan bahwa bahasa dan sastera daerah dapat memperkaya dan merevitalisasi bahasa nasional, ini adalah pandangan yang realistik karena memang inilah yang telah dan sedang terjadi. Sikap ini juga menunjukan kepercayaan pada hari depan kehidupan Indonesia, termasuk bahasa dan sasteranya. Segala sesuatunya dapat diterima selama tidak ada usaha untuk memaksakan bahasa atau sastera daerah tertentu mempunyai kedudukan atau peran dominan. Ini yang dimaksud seleksi alamiah yang wajar.
Dalam hal sastera se-indonesia situasinya lebih kompleks lagi. Pada satu pihak sejak dahulu ada pengaruh timbal balik di antara bahasa-bahasa Indonesia tertentu. Tulisan para ahli di bidang ini memperlihatkan berbagai pengaruh dan peminjaman aspek sastera dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah sastera di kalangan Nusantara?
2. Bagaimanakah keadaan pendidikan membaca karya sastera di sekolah-sekolah
Pada jaman sekarang?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Naqd Al-adab.
2. Penulis mengharapkan dengan dibuatnya makalah ini supaya para pembaca khususnya tau dan memahami tentang sejarah teori kritik sastera di kalangan Nusantara.
3. Penulis juga mengaharapkan supaya seluruh masyarakat nusantara mengetahui keadaan sastra-sastra yang ada di Nusantara.


BAB II
PEMBAHASAN


A.Kesusasteraan di Indonesia Dimensi Rohani yang Hilang Harus Dikembalikan
Dalam masyarakat bangsa kita dahulu, kesusastraan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Mereka yang menguasai kesusasteraan dianggap tinggi kedudukanya. Dalam bahasa-bahasa daerah kita, dikenal istilah “pujangga” yang melukiskan orang yang berilmu tinggi sekaligus orang terpelajar karena banyak membaca sastra, yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat dan segala perkataanya dianggap berharga lebih dari pada mutiara. Kata-katanya dianggap menyampaikan kebenaran, dan mempunyai kekuatan yang dianggap dapat menembus ruang dan zaman .
Demikianlah dalam sejarah jawa kita mengenal Mpu Kanwu yang karyanya Arjuna Wiwaha memeberikan legimitasi atas kekuasaan sang Airlangga yang telah berjuang mempersatukan kerajaan mertuanya yang dihancurkan oleh Raja Wura-wari. Kita pun mengenal Mpu Prapanca yang menjadi pujangga keraton yang menciptakan Negara Kertagama yang memberikan puji-puja kepada kesbesaran sang Baginda Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit yang agung dan lain-lain.
Dalam masyarakat sunda misalnya, juru pantun melalui carita-carita pantunya membawakan kesusasteraan kepada para para pendengarnya, demikian juga para dalang wayang goleknya menyampaikan penggalan-penggalan epos Mahabrata dan Ramayana buat para penggemarnya. Begitu mesranya orang sunda dengan dengan kesusasteraan, sehingga tokoh-tokoh dan peristiwa fiktif dalam karya sastera dianggap sebagai bagian dari kebenaran sejarah dan peninggalannya masih dapat disaksikan seperti Sangkuriang dan Lutung Kasarung.
Sejak sekolah-sekolah didirikan pada paro kedua abad ke-19, maka bahasa dan kesusasteraan sunda diajarkan dengan itensif. Dengan adanya percetakan, maka karya-karya dalam bahasa sunda yang tadinya beredar berupa naskah yang disalin dengan tangan, lebih luas jangkauanya karena perlipat gandaanya dapat dilakukan dengan cepat. Hai itu pada saatnya merangsang bakat-bakat terpendam untuk juga menulis karya-karya dalam bahasa sunda.
Dari apa yang dikemukakan tadi, jelas kiranya bahwa bagi “kaum terpelajar” sunda waktu itu yang umumnya hanya lulusan sekolah dasar atau sekolah menengah (termasuk pendidikan keguruan), membaca (baik buku maupun majalah atau surat kabar)
Telah manjadi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan mereka yang mendapatkan pendidikan dengan pengantar bahasa belanda, mempunyai pula bacaanya sendiri, di samping buku-buku juga majalah atau surat kabar berbahasa belanda yang jumlahnya pun cukup banyak. Majalah dan surat kabar berbahasa belanda pun banyak diterbitkan di kota-kota dikabupaten-kabupaten seperti Bogor, Sukabumi, Serang, Cirebon, selain Bandung. Bahkan di Garut juga telah terbit majalah dalam bahasa Esperento : yaitu NIA organo de la Nederland India societo Esperantista La Estonteco Estu Nia (1936-1942).
Seperti pernah saya katakan dalam salah satu kesempatan, kegemaran dan kebiasaan membaca bukanlah bakat yang jatuh begitu saja dari langit. Hal itu merupakan hasil latihan dan didikan yang ditanamkan sejak kecil. Orang tidak bisa begitu saja tiba-tiba “Mengerti” dan menggemari serta menghargai karya-karya seperti Putu Wijaya atau Y.B. Mangunwijaya kalau sebelumnya tidak terbiasa membaca karya-karya Hamka, S. Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Nasjah Djamin dan lain-lain.
Mata pelajaran sastera sekarang hanya merupakan bagian kecil dari mata pelajaran bahasa. Dalam buku pelajaran bahasa Indonesia yang resmi disusun oleh para anggota Tim Resmi Depdikbud, begitu juga dalam buku-buku peajaran bahasa yang disusun oleh Tim swasta dan diterbitkan oleh para penerbit swasta pula akan segera nampak bahwa para penyusun buku itu (sesuai dengan ketetapan kurikulum), membatasi diri dalam bagian kesusasteraan hanya memberikan batasan-batasan (definisi) tentang istilah-istilah ilmu bahasa atau teori sastera, seperti apa itu metafora, paralisme, dan semacam itu.
Apakah kita akan merasa puas hanya menjadi bangsa yang maju secara materi dan berhasil membangun secara fisik saja? Tidakkah kita pin ingin meninggalkan karya-karya budaya, seni, dan sastera yang agung yang dapat dibangga-banggakan oleh anak cucu kita kelak? Tidakkah kita ingin menjadi bangsa maju lahir dan batin? Jasmani dan rohani?

Kalau kita merasa tidak puas hanya maju secara materi saja dan membangun secara fisik saja, dan kita ingin menjadi bangsa yang maju secara lahir dan batin, maka kita harus memberikan prioritas kepada pendidikan dan pembinaan dalam bidang kebudayaan, kesenian dan terutama kesusasteraan. Seperti telah saya kemukakan, sebagai bangsa kita yang beruntung karena mewarisi peningglan budaya, seni dan sastera dari nenek moyang kita yang bermutu tinggi.
Bidang penelitian meliputi baik kesenian atau kebudayaan dan kesusasteraan lama maupun yang kiwari (kontemporer). Kita harus mempelajari kekayaan warisan rohani dari nenek moyang kita. Dalam bidang kesusasteraan, berupa naskah-naskah lama yang ditulis dalam bahasa-bahasa daerah yang masih hidup maupun ditingkat daerah. Di Jawa barat misalnya, terdapat naskah-naskah sunda yang cukup karya; tetapi sebagian besar masih belum diteliti.
Penelitian berjalan seperti siput, padahal banyak naskah yang sudah lapuk karena tua karena tidak dirawat dengan semestinya. Berpeti-peti naskah yang terdapat di Meseum Nasional, yang terdapat di Cuburuy (Garut) dan lain-lain, sudah hamper seabad diketahui adanya, namun sampai sekarang belum juga dikenal isinya, bahkan judulnya pun tidak diketahui karena belum ada tanda tangan ahli yang merabanya.

B. Munculnya Sastra Arab
Ayyam Al-Arab adalah peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab, dan Al-Ansab (genealogi) secara umum menjadi symbol kebanggan masyarakat Arab. Ayyam Al-Arab merekam peristiwa-peristiwa atau peperangan-peperangan yang pernah terjadi antar kabilah atau antar suku. Sedangakan Al-Ansab memuat silsilah keturunan, dan mereka merasa bangga apabila berasal dari keturunan yang terhormat.Dua jenis pengetahuan ini banyak tersimpan dalam karya sastra, baik berupa syair maupun prosa.
Dalam sejarah kesusasteraan Arab, munculnya prosa lebih awal dari pada syair, karena prosa tidak terikat dengan aturan-aturan sebagaimana yang ada dalam syair. Pernyataan ini berbeda dengan Thaha Husein (t.t.; 326) yang menyatakan sebaliknya, bahwa syair lebih dahulu dari pada prosa, karena syair terikat dengan rasa sastra dan imajinasi yang tinggi. Perkembangan ini baru berkembang dengan perkembangan setiap individu dan kelompok masyarakat. Sementara Ulama Lughah dan para kritikus sastra berpendapat bahwa keberadaan prosa lebih dulu dari pada syair. Karena prosa merupakan karya sastra yang bebas, tidak terikat (mthlaq), sedangkan syair adalah karya sastra yang terikat dengan aturan (muqayyad).
Syair-syair Arab yang terkenal pada zaman jahiliyah adalah syair al-mualaqat yang berbentuk qasidah panjang. Sebagian sastrawan Arab mengatakan bahwa qasidah yang dikodifikasikan oleh Hammad Al-Rawiyah di sebut dengan mu’allaqat, karena ia digantung pada dinding Ka’bah. Hal ini dilakukan karena qasidah tersebut mempunyai nilai-nilai yang agung, penting, dan berharga. Para sastrawan, kririkus sastra, dan sejarawan dalam memberikan penilaian terhadap keshahihan sanad dan matanya karya sastra pada prinsipnya mengikuti jejak atau metode seperti yang dikembangkan para ahli hadits, baik yang terkait dengan sanad atau matan.
Setelah daerah islam meluas dan banyak daerah yang ditundukan, keinginan untuk meriwayatkan syair pun tumbuh kembali. Tetapi didalam semangat yang baru ini, mereka dihadapkan kepada persoalan baru pula, yaitu tidak adanya sumber-sumber, baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk kumpulan syair yang tercatat. Sementara para penyair sudah banyak yang menibggal.
Dengan teori kritik sastranya, Thaha Husein mencurigai akan keautentikan syair jahili, karena tidak merefleksikan perbedaan linguistic yang terdapat dijazirah Arab, seperti yang digambarkan Al-Quran. Setelah melalui pengujian dalam penelitianya, sampailah ia pada kesimpulan bahwa dalam syair-syair jahili itu terdapat inkonsistensi antara bahasa, gaya, dan ide dengan kondisi jazirah arab pada saat itu masih belum bersatu. Hanya ada beberapa syair saja yang dapat disebut syair jahili yang autentik.
C. Teori Sastera Dan Sejarah Sastera
1. Pendekatan Sejarah Sastera yang Tradisional
Secara singkat dapat disebutkan empat pendekatan yang utama, masing-masing dengan varianya.
 Seiring sejarah ditaklukan pada sejarah umum, sehingga karya sastera dan penulisnya ditempatkan dalam rangka yang disediakan oleh ilmu sejarah umum. Satu varian pendekatan ini yang cukup menonjol mempergunakan kerangka universal sejarah kebudayaan (sudah tentu, universal berarti eropa, sebab sastera luar eropa biasanya tidak diperhatikan dalam sejarah sastera semacam ini).
 Pendekatan yang kedua sering dipakai, barang kali demi mudahnya, adalah pendekatan yang mengambil kerangka karya atau tokoh agung, atau gabungan dua kriteria ini. Contoh yang baik mengenai pendekatan ini dapat dilihat dalm buku kalawangan tulisan Profesor Zoetmulder (1974).
 Pendekatan lain yang ada pada abad kesembilan belas yang sangat popular dan banyak membawa hasil yang gilang-gemilang adalah yang dalam bahasa jermanya disebut stoffgeschichte, yang berdasarkan Quellenforschung: sejarah bahan-bahan dengan penelusuran sumber-bersumber. Penelusuran seperti ini biasanya memusatkan perhatian pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang jaman.
 Pendekatan keempat yang khas, yang lebih memperhatikan asal-usul karya dari pada struktur dan fungsinya adalah sejarah sastera yang mengambil sebagai kriteria utama untuk penahapan sejarah pengaruh asing berturut-turut dapat ditelusuri pada perkembangan sastera tertentu.


2. Prinsip Dasar Sejarah Sastera
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa teori sastera yang pertama-tama dan terutama harus meneliti kompetensi sastera, yaitu keseluruhan konvensi yang memungkinkan pembacaan dan pemahaman karya sastera. Setiap karya adalah menifestasi sebuah system yang sedikit banyaknya harus dikuasai oleh pembaca agar karya yang dibacanya diberi makna.
3. Beberapa Faktor yang Relevan Untuk Sejarah Sastera
• Dinamika Sistem Sastera
• Pengaruh Timbal Balik Antara Jenis Sastera
• Intertekstualitas Karya Indiviual dan Sejarah Sastera
• Sejarah Sastera dan Sejarah Umum
• Penelitian Resepsi Sastera dan Sejarah Sastera
• Sastera Lisan dan Sejarah Sastera
• Sejarah Sastera Indonesia dan Sejarah Dalam Nusantara
4. Penerapan Metode Penampangan Sinkronik di Indonesia
Metode penampangan sinkronik pasti dapat diterapkan dengan hasil yang baik; misalnya untuk sastera Indonesia modern dapat dilangsungkan penelitian tentang sastera yang pada satu saat tertentu atau selama periode singkat diciptakan.hubungan instrinsik diantara karya-karya itu (dari segi nilai dan norma) dapat ditelusuri, berdasarkan analisis intrinsik serta data ekstrinsik seandainya ada (kritik sastera, uraian teori sastera dan lian).
5. Pendekatan Berdasarkan Jenis Sastera
Pendekatan lain yang sebagainya dapat digabungkan, sebagainya pula dapat menggantikan pendekatan lewat penampangan sinkronik, adalah pendekatan lewat sejarah jenis sastera tertentu seperti yang telah diuraikan di atas. Contoh yang baik adalah sejarah jenis sastera jawa kuno kakawin. Barang kali tidak dapat diharapkan bahkan akan dapat ditulis sejarah sastera jawa kuno secara menyeluruh.


6. Sejarah Sastera se-Indonesia
Dalam tulisan yang diterbitkan pada tahun 1976 (Teeuw 1976) pernah dibicarakan teks-teks dalam bahasa-bahasa Indonesia yang disebut histories atau genealogis : babad, sejarah dan lain-lain. Sejarah dan bukan sejarah, dalam rangka pandangan dunia masyarakat Indonesia yang bersangkutan (Jawa Melayu, Bugis dan lain-lain). Pertentangan sejarah, rekaan, atau realis fiksional tidak tepat untuk teks ini.
Perjalanan kala hanya berada dalam babad itu sendiri. Kala hanya berjalan selama cerita babad itu berlangsung dan tidak berkaitan dengan kala nyata di luar babad. Demikian pula genealogi itu sendiri merupakan genealogi dengan struktur literer, bukan berkaitan langsung dengan genealogi histories.
Dalam ilmu sastera diseluruh dunia dapat diperhatikan minat yang makin meningkat untuk masalah sejarah sastera, baik dari segi teori maupun praktek. Sejarah sastera yang agak terabaikan selama lima puluh tahun kebelakang ini sekarang ditemukan kembali sebagai cabang ilmu sastera yang memikat. Sejarah sastera pun dapat ditingkatkan atau dikembangkan pada tataran yang lebih tinggi dan dengan perlengkapan yang konseptual yang maju dan lengkap. Di Indonesia tradisi penulisan sejarah sastera sampai sekarang hamper belum ada. Tetapi keterbelakangan ini berangsur-angsur akan diatasi asal dimanfaatkan pengertian dan pengetahuan teori dan factual yang sekarang telah tersedia untuk tugas ini.
7. Beberapa tokoh-tokoh sastra di antaranya :
Asrul Sani dan Rivai Apin
Idrus
Achdiat K. Mihardja
Pramoedya Ananta Toer
Mochtar Lubis
Utuy T. Sontani
Sitor Situmorang
Aoh K. Hadimadja
M. Balfas dan Rusman Sutiasumarga
Chairil Anwar
Trisno Sumardjo
Mh. Rustandi Kartakusuma
Taufik Ismail
Toto sudarto Bachtiar
W.S Rendra
Ramadhan K.H
Kirdjomuljo
Goenawan Mohammad
Ibn Qutaibah
Al-jahizh
Hasan bin basyar al-Midi
Qudamah bin jafar
Ibn Rasyiq al-Qawarani
Abd al-Qahir al-jurjani
Ibn al-Atsir


BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari apa yang saya kemukakan tadi, jelas kiranya bahwa bagi “kaum terpelajar” sunda waktu itu yang umumnya hanya lulusan sekolah dasar atau sekolah menengah (termasuk pendidikan keguruan), membaca (baik buku maupun majalah atau surat kabar)
Telah manjadi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan mereka yang mendapatkan pendidikan dengan pengantar bahasa belanda, mempunyai pula bacaanya sendiri, di samping buku-buku juga majalah atau surat kabar berbahasa belanda yang jumlahnya pun cukup banyak. Majalah dan surat kabar berbahasa belanda pun banyak diterbitkan di kota-kota dikabupaten-kabupaten seperti Bogor, Sukabumi, Serang, Cirebon, dan lain-lain.
Kalau kita merasa tidak puas hanya maju secara materi saja dan membangun secara fisik saja, dan kita ingin menjadi bangsa yang maju secara lahir dan batin, maka kiat harus memberikan prioritas kepada pendidikan dan pembinaan dalam bidang kebudayaan, kesenian dan terutama kesusasteraan. Seperti telah saya kemukakan, sebagai bangsa kita beruntung karena mewarisi peninggalan budaya, seni dan sastera dari nenek moyang kita yang bermutu. Hanya sayangnya semuanya itu telah sangat terlalu lama kita sia-siakan, sehingga anak-anak kita tidak lagi mengenalnya, bahkan kita pun hanya tahu dari omongan orang-orang asing atau sarjana-sarjana asing saja.
Di samping itu perlu juga dilakukan penelitian dan pendokumentasian folklore. Bangsa kita hanya kaya sekali dengan folklor, terurtama dalam bahasa-bahasa daerah. Namun folklor dalam bahasa Indonesia pun tumbuh dengan suburnya, terutama di lingkungan para mahasiswa di kota-kota besar, yang umumnya mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA


Raminah, Baribin. Kritik dan Penilaian Sastera, IKIP Semarang Press;

Muzakki, Akhmad. 2006. Kesusasteraan Arab Pengantar Teori dan Terapan, Jogjakarta: Ar-Ruzz;

Rosidi, Ajip.1989. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia, Bandung: Bina Cipta;

Teew, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keaksaraan, Jakarta: Pustaka jaya;

untuk mendapatkan makalah yang lengkap dengan footnote anda dapat mendownldnya di http://www.ziddu.com/download/5388795/kalimatdalambahasaarab.rtf.html