Pages

Nasakh

A. Pengertian Ta'arud Al-Adhillah
B. Cara Menyelesaikan Taarud Al-Adhillah

C. Nasakh
a) Pengertian Nasakh
Dari segi lughat (bahasa) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan. Adapun menurut ulama Ushul Fiqh, definisi nasakh yaitu:
بيان انتهاء امد حكم شرعي بطريق شرعيّ متراخ عنه
Artinya:
"penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syar'i; yang datang kemudian".
رفع حكم شرعيّ عن المكلف بحكم شرعيّ
Artinya:
"pembatalan hukum syara' yang ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hukum syara' yang datang kemudian".
Para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan apabila memenuhi criteria berikut:
1. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara' yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus). Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang tidak dinamakan nasakh.
2. Yang dibatalkan adalah syara' yang disebut mansukh (yang dihapus).
3. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian, istisna (pengecualian) tidak disebut nasakh.

b) Rukun Nasakh
Rukun Nasakh itu ada empat, yaitu:
  • Adat an-nasakh, yaitu pernyataan adanya pembatalan hukum yang telah ada.
  • Nasikh adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
  • Mansukh, yaitu hukum yang dibatakan, dihapuskan, atau dipindahkan.
  • Mansukh anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.
c) Hikmah Nasakh
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, di antara hikmah adanya konsep nasakh adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dan adanya tahapan dalam penetapan hukum Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah selesai menurut kehendak Syar'i maka datang tahap berikutnya, sehingga kemaslahatan manusia tetap terpelihara.

d) Perbedaan Nasakh dengan Taksis
Nasakh dengan Taksis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum, untuk mengkhususkan sebagian kandungan suatu lafadz. Hanya saja, taksis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.
Adapun perbedaan di antara keduanya adalah; taksis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nash dan yang sebelumnya telah berlaku.

e) Syarat-syarat Nasakh
Keberadaan nasakh dalam al-Quran harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.
Di antara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
  • Yang dibatalkan adalah hukum syara'
  • Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara'
  • Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
  • Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun syarat-syarat yang diperselisihkan, antara lain:
a. Mu'tazilah dan sebagian Hanafiyah menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilakukan atau syara' memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum tersebut, menunjukkan bahwa hukum itu baik. Sebaliknya, jika belum sempat dilaksanakan, berarti hukum itu buruk.
Jumhur membantah pendapat di atas dengan alasan:
1. Kebaikan suatu hukum itu tidak hanya dinilai dari akibat perbuatan tersebut. Namun, ada yang lebih penting dari itu, yakni kepatuhan kepada Allah.
2. Secara fakta telah banyak hukum yang dinasakh sebelum dilaksanakan, seperti perintah shalat pada waktu Isra Miraj Nabi yang mula-mula diperintahkan 50 kali, tetapi belum sempat perintah tersebut dilaksanakan sudah dinasakh 5 kali saja.
    b. Mu'tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara' bukan oleh akal.

    c. Menurut Imam Syafi'I, al-Quran tidak bisa dinasakh, kecuali dengan al-Quran, dan hadis mutawatir juga tidak dinasakh, kecuali dengan hadis mutawatir pula. Hal itu dibantah oleh jumhur bahwa al-Quran bisa dinasakh dengan hadis mutawatir dan hadis mutawatir pun bisa dinasakh dengan al-Quran.
    d. Menurut Jumhur, qiyas tidak bisa menjadi nasikh maupun mansukh. Sebaliknya Tajudin, ahli ushul fiqh dari kalangan syafi'iyah, berpendapat bahwa qiyas bisa menasakh al-Quran, karena qiyas berasal dari nash. Namun, dia tidak memberikan contohnya.
    e. Menurut jumhur ijma tidak boleh menjadi nasikh maupun mansukh, dengan alasan bahwa ijma itu baru bisa dianggap sah apabila tidak bertentangan dengan nasakh. Sedangkan bila ijma dimansukh berarti membatalkan landasan ijma itu sendiri. Namun, menurut Imam Al-Badzdawi, ijma itu boleh dinasakh dengan ijma lainnya yang datang kemudian.
    f) Macam-macam nasakh
    Para ulama membagi nasakh menjadi beberapa macam, diantaranya:
    • Nasakh yang tidak ada gantinya.
    • Nasakh yang ada penggantinya; namun penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat.
    • Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap berlaku.
    • Nasakh hukum ayat, namun teksnya masih ada,
    • Nasakh hukum dan bacaan ayat sekaligus.
    • Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut ulama Hanafiyah hukum penambahan tersebut bersifat nasakh. Jumhur lebih memerinci hukum tambahan ini.


      a. Apabila hukum tambahan tidak terkait dengan hukum yang ditambah, tidak dinamakan nasaikh.
      b. Apabila hukum yang dinasakh berkaitan dengan hukum yang ditambah, maka tambahan itu dinamakan nasakh.
      c. Apabila penambahan itu mempengaruhi bilangan, tetapi tidak mempengaruhi esensi hukum semula. Menurut Jumhur hal ini tidak dinamakan nasakh. Akan tetapi menurut Hanafiyah ini termasuk nasakh karena hukum asalnya telah berubah.

    • Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari'atkan. Menurut kesepakatan ulama dikatakan nasakh, namun mereka tidak memberikan contohnya.
    g) Cara mengetahui nasikh dan mansukh
    Untuk mengetahui tentang nasikh dan mansukh, antara lain melalui hal-hal di bawah inii:
    • Penjelasan langsung dari Rasulullah saw.
    • Dalam suatu nasakh, terkadang terdapat keterangan yang menyatakan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu.
    • Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis, yang menyatakan satu dahis dikeluarkan tahun sekian dan hadis lain dikeluarkan tahun sekian.
    D. Tarjih