B. Cara Menyelesaikan Taarud Al-Adhillah
C. Nasakh
D. Tarjih
a). Pengertian
Secara etimologi, tarjih berarti menguatkan, sedangkan secara terminologi yaitu :
تقوية إحدى الإمارتين على الأخرى ليعمل بها
Artinya:"menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan berdasarkan dalil tersebut"
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajah (dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan.
b). Cara pentarjihan
Dari segi sanad
Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pentarjihan dapat dilakukan melalui 42 cara, di antaranya dikelompokkan dalam bagian berikut:
- Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
- Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
- Pentarjihan melalui cara menerima hadis dari rasul
Menurut Al-Amidi ada 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, antara lain:
- Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
- Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya perbuatan.
- Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar, karena muhkam lebih pasti disbanding mufassar.
- Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat sindiran.
Menurut Asy-Syaukani ada beberapa cara, yaitu:
- Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks yang membolehkan. Berdasarkan hadis Rasulullah:
مااجتمع الحلال والحرام الاغلب الحرامArtinya:
"tidaklah berkumpul antara yang halal dan yang haram, kecuali yang haram lebih dominan."
- Di kalangan para ulama terdapat perbedaan tentang teks yang bersifat menetapkan dengan teks yang bersifat meniadakan.
- Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka yang dipilih adalah yang pertama, menghindarkan terpidana dari hukuman.
- Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks yang di dalamnya mengandung hukuman berat.
Tarjih menggunakan factor (dalil) lain di luar nash
Menurut Asy-Syaukani diantara caranya adalah :
- Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik dalil al-Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas, dan lain-lain.
- Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah, karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya al-Quran dan penafsirannya.
- Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari suatu nash serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud daripada dalil yang tidak memuat hal tersebut.
- Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada dalil yang tidak menuntut demikian.
- Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengamalan dari perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
Menurut Asy-Syaukani pentarjihan qiyas dari hukum asal bisa menggunakan 16 cara, di antaranya:
- Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath'I dari yang zhanni.
- Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma dari qiyas yang landasan dalilnya nash, sebab nash itu bisa ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh, sedangkan ijma tidak.
- Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
- Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak.
- Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan dinasakh.
- Menguatkan qiyas yang hukum asalnya bersifat khusus.
- Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum asalnya.
- Menguatkan hukum cabang yang illatnya diketahui secara qath'I dari yang hanya diketahui secara zhanni.
- Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara tafshil.
Pentarjihan ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a. Pentarjihan dari segi cara penetapan illat, antara lain:
- Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari yang tidak demikian.
- Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim (pengujian, analisis, dan pemilihan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara illat dengan hukum.
- Menguatkan illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari sifat yang ditetapkan melalui munasabah, karena isyarat nash lebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.
- Menguatkan illat yang bisa diukur daripada yang relative
- Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain daripada yang terbatas pada satu hukum saja.
- Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang bersifat hajjiyat (penunjang). Dan dikuatkan illat yang berkaitan dengan kemaslahatan yang bersifat hajjiyat daripada yang bersifat tahsiniyat (pelengkap).
- Menguatkan illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, daripada illat yang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.
Pentarjihan dengan cara ini dapat dilakukan antara lain dengan:
- Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat.
- Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat (bagi yang mengakui bahwa pendapat sahabat sebagai salah satu dalil).
- Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu' daripada yang hanya berlaku untuk sebagian furu' saja.
- Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil
Dalam menentukan hukum pada suatu persoalan yang tidak hanya memiliki satu dalil yang mana antara dalil tersebut ada pertentangan maka hal ini menjadi bahasan ta'arud al-adhillah. Dalil-dalil tersebut berada pada tingkatan yang sama, artinya bisa antara ayat dengan ayat atau antara surat dengan surat.
Adapun dalam hal penyelesaian ketika ada dua dalil yang bertentangan para ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua kelompok, yakni para ulama Hanafiyah dan ulama Syafi'iyah. Mereka menetapkan beberapa tahapan dalam penyelesaian ta'arud al-adhillah. Dan penggunaan metode penyelesaian ta'arud al-adhillah harus dilakukan secara berurutan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe'i Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih: Bandung: CV Pustaka Setia.
Hanafi. 1989. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
Zahrah Muhammad. 1999. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
Adapun dalam hal penyelesaian ketika ada dua dalil yang bertentangan para ulama Ushul Fiqih berbeda pendapat dan terbagi menjadi dua kelompok, yakni para ulama Hanafiyah dan ulama Syafi'iyah. Mereka menetapkan beberapa tahapan dalam penyelesaian ta'arud al-adhillah. Dan penggunaan metode penyelesaian ta'arud al-adhillah harus dilakukan secara berurutan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe'i Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih: Bandung: CV Pustaka Setia.
Hanafi. 1989. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
Zahrah Muhammad. 1999. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.