BAB I PENDAHULUAN
BAB II KRITIK SAYYED HOSEIN NASR TERHADAP PERADABAN MODERN
BAB III
SAYYED HOSSEIN NASR DAN GAGASAN ISLAM TRADISIONAL (TRADISIONALISME)
BAB II KRITIK SAYYED HOSEIN NASR TERHADAP PERADABAN MODERN
BAB III
SAYYED HOSSEIN NASR DAN GAGASAN ISLAM TRADISIONAL (TRADISIONALISME)
Dua abad lalu, apabila seorang Barat, seorang Konfucian Cina atau seorang Hindu dari India menelaah Islam, niscaya yang mereka jumpai adalah tradisi Islam yang tunggal. Orang yang seperti itu mungkin saja akan menemukan sejumlah madzhab pemikiran, interpretasi-interpretasi hukum, teologi dan bahkan sekte-sekte yang terpisah dari tubuh utama ummat. Begitu pula orang tersebut akan menemukan ortodoksi dan heterodoksi dalam akidah dan juga praktek. Tetapi dari semua yang telah diamatinya, baik dari ucapan-ucapan esoterik seorang suci sufi hingga keputusan-keputusan yuridikal seorang ‘alim’, maupun dari pandangan teologikal ketat seorang doktor aliran hambali dari Damaskus hingga pernyataan-pernyataan berat Syiisme yang agak ekstrem, dalam tingkat tertentu merupakan bagian dari tradisi Islam: yakni dari pohon tunggal wahyu Illahi yang akar-akarnya adalah Al-Qur;an dan Hadits, sedang batang dan cabang-cabangnya membentuk tubuh tradisi yang tumbuh dari akar-akar itu selama lebih dari empat belas abad dihampir setiap penjuru dunia.*8
Namun sebelum kita membahas lebih mendalam bahasan ini, alangkah baiknya apabila kita terlebih dahulu mengetahui apa arti dari tradisi. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah, yaitu apa yang sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan as-silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran didunia tradisional kepada sumber, seperti tampak gamblang dalam sufisme. Karenanya tradisi mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu didalam sifat illahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Dijantung pohon tradisi itu berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsip-prinsp yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.*9
Kenapa tradisionalis-tradisionalis bersikeras untuk mengukuhkan pertentangan antara tradisi dan modernisme? Itu tidak lain karena sifat modernisme itu sendiri telah menimbulkan citra yang sama di bidang religius dan metafisika yaitu menampakan yang setengah-benar sebagai kebenaran. Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci, menurut nasr, hidup didunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.*10
Sejauh doktrin tradisional tentang manusia diperhatikan, hal itu didasarkan pada konsep manusia primordial sebagai sumber kemanusiaan, refleksi total dan lengkap mengenai Illahi dan realitas pola dasar yang mengandung posibilitas-posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri. Signifikasi Islam tradisional dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase Islam. Islam Tradisional menerima Qur’an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya: sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan, yang tak-tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga menerima komentar-komentar tradisional atas Qur’an yang berkisar dari komentar-komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan metafisikal. Dalam kenyataan, Islam tradisional menginterpretasikan bacaan suci tersebut bukan berdasarkan makna literal dan ekseternal kata-kata melainkan berdasarkan tradisi hermeneutika.*11
Sifat primordial dan paripurna tentang manusia yang Islam menyebutnya “Manusia sempurna”(insan kamil), dan doktrin-doktrin sapiensial kuno Gracco-Aleksandrian juga menyinggung dalam istilah yang hampir sama, kecuali aspek-aspek Abrahamik dan Islamik yang secara khusus tidak muncul dalam sumber-sumber Neo-platonik dan hermetik, yang menyatakan bahwa realitas manusiawi mempunyai tiga aspek fundamental. Manusia universal, yang dalam realitasnya direalisasikan hanya oleh nabi-nabi dan pujangga-pujangga besar, karena hanya merekalah manusia yang dalam pengertian yang sesungguhnya di dunia, pertama adalah dari realitas pola dasar alam semesta, kedua instrumen atas makna dimana wahyu turun kedunia, dan ketiga, model sempurna untuk kehidupan spiritual dan pemancar pengetahuan esoterik mutakhir. Dengan kebajikan realitas manusia universal, manusia terestrial dapat memperoleh akses pewahyuan dan tradisi, sehingga tersucikan. Akhirnya, melalui realitas yang tak lain daripada aktualisasi realitas manusia itu sendiri, manusia mampu mengikuti jalan sempurna yang akhirnya memungkinkan memperoleh pengetahuan suci, dan akhirnya menjadi dirinya sendiri secara sempurna. Perkataan Oracle Delphic “Mengetahui dirimu sendiri”, atau dari nabi Islam, “ Dia yang mengetahui dirinya sendiri mengetahui Tuhannya”, adalah benar, bukan karena manusia sebagai ciptaan di bumi sebagai ukuran segala sesuatu, tetapi karena manusia adalah dirinya sendiri yang merupakan refleksi realitas pola dasar, yang menjadi ukuran segala sesuatu.*12 Fungsi kesalehan manusia selalu tidak dapat dipisahkan dari realitas, dari apa dia sesungguhnya. inilah mengapa ajaran tradisional menggambarkan kebahagiaan manusia di dalam kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya, seperti jembatan antar surga dan bumi. Hukum-hukum keagamaan dan ritus-ritusnya mempunyai fungsi-fungsi kosmik, dan didasarkan tidak mungkin baginya menghindari tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup dibumi, tetapi bukan hanya keduniawian, sebagai penghubung antara surga dan bumi, dari bentukan spiritual maupun material, diciptakan untuk mereflesikan sinar surga tertinggi Tuhan di dunia, menjadi harmoni di dunia melalui dispensasi dari penurunan dan pelaksanaan bentuk kehidupan yang dihubungkan dengan realitas batinnya sebagaimana ditentukan oleh tradisi.
Mengenai metafisika, Nasr berpendapat bahwa metafisika merupakan pengetahuan yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang absolut dan relatif . oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin tinggal didunia lebih lama, prisip-prinsip metafisika harus dihidupkan kembali.*13 Pandangan tentang realitas tersebut melihat manusia tradisional melihat citra illahi dalam bayangnya sendiri. Ia memahami kemungkinan-kemungkinan Illahiah dalam kodratnya memungkinkan mengatasi berbagai keterbatasannya, pada akhirnya, ia mentransendensi dirinya melalui pencarian pengalaman spiritual. Sedangkan manusia modern hanya melihatnya cirinya ketika ia menengok ke dalam. Mata egonya hanya melihat citra manusia, suatu bentuk manusia murni.
________________________
Namun sebelum kita membahas lebih mendalam bahasan ini, alangkah baiknya apabila kita terlebih dahulu mengetahui apa arti dari tradisi. Tradisi bisa berarti ad-din dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang mencakup semua aspek agama dan percabangannya; bisa pula disebut as-sunnah, yaitu apa yang sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya dipahami; bisa juga diartikan as-silsilah, yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap kehidupan dan pemikiran didunia tradisional kepada sumber, seperti tampak gamblang dalam sufisme. Karenanya tradisi mirip sebuah pohon, akar-akarnya tertanam melalui wahyu didalam sifat illahi dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Dijantung pohon tradisi itu berdiam agama, dan saripatinya terdiri dari barakah yang karena bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksaan yang abadi, serta penerapan bersinambung prinsip-prinsp yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.*9
Kenapa tradisionalis-tradisionalis bersikeras untuk mengukuhkan pertentangan antara tradisi dan modernisme? Itu tidak lain karena sifat modernisme itu sendiri telah menimbulkan citra yang sama di bidang religius dan metafisika yaitu menampakan yang setengah-benar sebagai kebenaran. Islam tradisional memandang manusia bukan sebagai makhluk yang terpenjara oleh akal dalam arti rasio semata sebagaimana yang dipahami pada zaman renaisans, tetapi sebagai makhluk yang suci, yang tak lain adalah manusia tradisional. Manusia suci, menurut nasr, hidup didunia yang mempunyai asal maupun pusat. Dia hidup dalam kesadaran penuh sejak asal yang mengandung kesempurnaannya sendiri dan berusaha untuk menyamai, memiliki kembali, dan mentransmisikan kesucian awal dan keutuhannya.*10
Sejauh doktrin tradisional tentang manusia diperhatikan, hal itu didasarkan pada konsep manusia primordial sebagai sumber kemanusiaan, refleksi total dan lengkap mengenai Illahi dan realitas pola dasar yang mengandung posibilitas-posibilitas eksistensi kosmik itu sendiri. Signifikasi Islam tradisional dapat pula dipahami dalam sinaran sikapnya terhadap fase Islam. Islam Tradisional menerima Qur’an sebagai kalam Tuhan baik kandungan maupun bentuknya: sebagai persoalan duniawi abadi kalam Tuhan, yang tak-tercipta dan tanpa asal-usul temporal. Islam tradisional juga menerima komentar-komentar tradisional atas Qur’an yang berkisar dari komentar-komentar yang linguistik dan historikal hingga yang sapiental dan metafisikal. Dalam kenyataan, Islam tradisional menginterpretasikan bacaan suci tersebut bukan berdasarkan makna literal dan ekseternal kata-kata melainkan berdasarkan tradisi hermeneutika.*11
Sifat primordial dan paripurna tentang manusia yang Islam menyebutnya “Manusia sempurna”(insan kamil), dan doktrin-doktrin sapiensial kuno Gracco-Aleksandrian juga menyinggung dalam istilah yang hampir sama, kecuali aspek-aspek Abrahamik dan Islamik yang secara khusus tidak muncul dalam sumber-sumber Neo-platonik dan hermetik, yang menyatakan bahwa realitas manusiawi mempunyai tiga aspek fundamental. Manusia universal, yang dalam realitasnya direalisasikan hanya oleh nabi-nabi dan pujangga-pujangga besar, karena hanya merekalah manusia yang dalam pengertian yang sesungguhnya di dunia, pertama adalah dari realitas pola dasar alam semesta, kedua instrumen atas makna dimana wahyu turun kedunia, dan ketiga, model sempurna untuk kehidupan spiritual dan pemancar pengetahuan esoterik mutakhir. Dengan kebajikan realitas manusia universal, manusia terestrial dapat memperoleh akses pewahyuan dan tradisi, sehingga tersucikan. Akhirnya, melalui realitas yang tak lain daripada aktualisasi realitas manusia itu sendiri, manusia mampu mengikuti jalan sempurna yang akhirnya memungkinkan memperoleh pengetahuan suci, dan akhirnya menjadi dirinya sendiri secara sempurna. Perkataan Oracle Delphic “Mengetahui dirimu sendiri”, atau dari nabi Islam, “ Dia yang mengetahui dirinya sendiri mengetahui Tuhannya”, adalah benar, bukan karena manusia sebagai ciptaan di bumi sebagai ukuran segala sesuatu, tetapi karena manusia adalah dirinya sendiri yang merupakan refleksi realitas pola dasar, yang menjadi ukuran segala sesuatu.*12 Fungsi kesalehan manusia selalu tidak dapat dipisahkan dari realitas, dari apa dia sesungguhnya. inilah mengapa ajaran tradisional menggambarkan kebahagiaan manusia di dalam kesadaran dan kehidupannya menurut alam pontifikalnya, seperti jembatan antar surga dan bumi. Hukum-hukum keagamaan dan ritus-ritusnya mempunyai fungsi-fungsi kosmik, dan didasarkan tidak mungkin baginya menghindari tanggung jawab sebagai makhluk yang hidup dibumi, tetapi bukan hanya keduniawian, sebagai penghubung antara surga dan bumi, dari bentukan spiritual maupun material, diciptakan untuk mereflesikan sinar surga tertinggi Tuhan di dunia, menjadi harmoni di dunia melalui dispensasi dari penurunan dan pelaksanaan bentuk kehidupan yang dihubungkan dengan realitas batinnya sebagaimana ditentukan oleh tradisi.
Mengenai metafisika, Nasr berpendapat bahwa metafisika merupakan pengetahuan yang real. Ia menjelaskan asal-usul dan tujuan semua realitas, tentang yang absolut dan relatif . oleh karena itu, Nasr mengusulkan jika manusia ingin tinggal didunia lebih lama, prisip-prinsip metafisika harus dihidupkan kembali.*13 Pandangan tentang realitas tersebut melihat manusia tradisional melihat citra illahi dalam bayangnya sendiri. Ia memahami kemungkinan-kemungkinan Illahiah dalam kodratnya memungkinkan mengatasi berbagai keterbatasannya, pada akhirnya, ia mentransendensi dirinya melalui pencarian pengalaman spiritual. Sedangkan manusia modern hanya melihatnya cirinya ketika ia menengok ke dalam. Mata egonya hanya melihat citra manusia, suatu bentuk manusia murni.
________________________
*8 sayyed hossein nasser, Islam Tradisi Ditengah Kancah Dunia Modern,1987, hal 1
*9 ibid, hal 3
*10 sayyed hussein nasser, Intelektual Islam, 1997, hal 185
*11 Sayyed Hossein Nasser, op.cit, 1987, hal 4
*12 Sayyed Hossei Nasser, op.cit, 1997, hal 192
*13 Chatib Saefullah, Pemikiran Sayyed Hossein Nassr Tentang Epistemologi, 1995, hal 75
*9 ibid, hal 3
*10 sayyed hussein nasser, Intelektual Islam, 1997, hal 185
*11 Sayyed Hossein Nasser, op.cit, 1987, hal 4
*12 Sayyed Hossei Nasser, op.cit, 1997, hal 192
*13 Chatib Saefullah, Pemikiran Sayyed Hossein Nassr Tentang Epistemologi, 1995, hal 75